lowongan kerja di rumah

Senin, 15 Februari 2010

ASKEP PERAWATAN LUKA

ASKEP PERAWATAN LUKA



BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Dewasa ini perawatan luka telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam dua dekade terakhir ini. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang praktek perawatan luka ini. Disamping itu manajemen perawatan luka ini berkaitan dengan perubahan profil pasien, dimana pasien dengan kondisi penyakit degeneratif dan kelainan metabolik semakin banyak ditemukan. Kondisi tersebut biasanya sering menyertai kekompleksan suatu luka dimana perawatan yang tepat diperlukan agar proses penyembuhan bisa tercapai dengan optimal.

Dengan demikian, perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis. Disamping itu perawat juga berkaitan dengan biaya perawatan luka yang efektif. Manajemen perawatan luka modern sangat mengedepankan hal tersebut. Hal ini ditunjang dengan semakin banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk-produk yang bisa dipakai dalam merawat luka. Dalam hal ini, perawat dituntut untuk memahami produk-produk tersebut dengan baik sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.



1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang perawatan luka dan aspek-aspek yang ada dalam perawatan luka.selain itu dapat mengetahui





BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Pengertian

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 1997). Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 1995).

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (R. Sjamsu Hidayat, 1997).

Luka adalah terganggunya (disruption) integritas normal dari kulit dan jaringan di bawahnya yang terjadi secara tiba-tiba atau disengaja, tertutup atau terbuka, bersih atau terkontaminasi, superficial atau dalam.(Menurut Koiner dan Taylan).

Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul:

1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

2. Respon stres simpatis

3. Perdarahan dan pembekuan darah

4. Kontaminasi bakteri

5. Kematian sel



2.2 Kulit

Kulit adalah salah satu indera peraba pada tubuh manusia

















2.3 Tulang



2.4 Fungsi Kulit

1. Sebagai pelindung tubuh atau protektor.

Kulit merupakan benteng pertahanan pertama dari berbagai ancaman yang datang dari luar, seperti: bakteri, Sel-sel langerhans bagian dari sistem kekebalan tubuh.

2. Sebagai alat pengeluaran sekresi.

Minyak yang dihasilkan kelenjar minyak dikeluarkan melalui kulit. Kandungan urea hasil metabolisme tubuh sebagian dikeluarkan melalui kulit (yaitu dengan berkeringat).

3. Sebagai thermoregulator atau pengatur suhu tubuh.

Dalam kulit juga terdapat syaraf-syaraf yang jika terstimulasi akan diteruskan ke otak sehingga dapat memberikan sensasi panas, dingin, tekanan, getaran, rasa sakit. Kulit juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air dan lemak, sekaligus mensintesa vitamin D, dengan bantuan sinar matahari yang mengandung ultraviolet.

4. Menyimpan kelebihan lemak



2.5 Klasifikasi Luka

Tindakan Terhadap Luka

1. Luka disengaja (Intentional Traumatis)

2. Luka tidak disengaja (Unintentional Traumatis)

Integritas Luka

1. Luka tertutup

2. Luka terbuka

Mekanisme Luka

1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)

2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.

3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.

5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.

6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

7. Luka Bakar (Combustio) adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam.



2.6 Tipe Luka

2.6.1 Aberasi

Aberasi adalah luka dimana lapisan terluar dari kulit tergores. Luka tersebut akan sangat nyeri dan mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi, karena benda asing dapat masuk ke lapisan kulit yang lebih dalam dan dalam jaringan subkutan. Perdarahan biasanya sedikit.

2.6.2 Punktur (Luka Tusuk)

Luka tusuk merupakan cedera penetrasi. Penyebabnya berkisar dari paku sampai pisau atau peluru. Walaupun perdarahan nyata seringkali sedikit, kerusakan jaringan internal dan perdarahan dapat sangat meluas dan mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi sehubungan adanya benda asing pada tubuh.

2.6.3 Avulsi

Avulsi terjadi sebagai akibat jaringan tubuh tersobek. Avulsi seringkali dihubungkan dengan perdarahan yang hebat. Kulit kepala dapat tersobek dari tengkorak pada cedera degloving. Cedera dramatis seringkali dapat diperbaiki dengan scar-scar kecil. Apabila semua bagian tubuh seperti telinga, jari tangan tangan, jari kaki, mengalaqmi sobekan maka pasien harus dikirim ke rumah sakit dengan segera untuk memungkinkan perbaikan (penyambungan kembali).

2.6.4 Insisi (Luka sayatan)

Insisi adalah terpotong dengan kedalaman yang bervariasi. Hal ini seringkali menimbulkan perdarahan hebat dan kemungkinan bisa terdapat kerusakan pada struktur dibawahnya sedemikian rupa, seperti saraf, otot atau tendon. Luka-luka ini harus dilindungi utuk menghambat terjadinya infeksi, bersamaan dengan pengontrolan perdarahan.

2.6.5 Laserasi

Laserasi adalah luka bergerigi yang tidak teratur. Serigkali meliputi kerusakan jaringan yang berat. Luka-luka ini seringkali menyebabkan perdarahan yang serius dan kemudian pasien akan mengalami syok hipovolemik.

Penolong pertama harus mempertimbangkan kondisi luka yang terjadi sepeti perlukaan itu dapat merupakan akibat cedera oleh dirinya sendiri.



2.7 Dekubitus

Ulkus Dekubitus (Luka akibat penekanan, Ulkus kulit, Bedsores) adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang.

2.7.1 Penyebab

Berkurangnya aliran darah ke kulit adalah tekanan. Jika tekanan menyebabkan terputusnya aliran darah, maka kulit yang mengalami kekurangan oksigen pada mulanya akan tampak merah dan meradang lalu membentuk luka terbuka (ulkus).

2.7.2 Tanda dan Gejala, Stadium dan Komplikasi

1. Stadium Satu

* Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut: perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat)

* Perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak)

* Perubahan sensasi ( gatal atau nyeri)

* Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu.

2. Stadium Dua
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang yang dangkal.

3. Stadium Tiga
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam

4. Stadium Empat
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV dari luka tekan.

2.7.3 Resiko Tinggi Terjadinya Ulkus Dekubitus Ditemukan Pada:

1. Orang-orang yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, lemah)

2. Orang-orang yang tidak mampu merasakan nyeri, kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes) dan koma bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri.

3. Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki lapisan lemak sebagai pelindung

4. Gesekan dan kerusakan lainnya pada lapisan kulit paling luar bisa menyebabkan terbentuknya ulkus.

2.7.4 Pengobatan

Ulkus biasanya membaik dengan sendirinya setelah tekanan dihilangkan. Menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi protein dan kalori tambahan bisa mempercepat penyembuhan. Mencegah terbentuknya ulkus bisa dilakukan beberapa tindakan berikut:

1. Merubah posisi pasien yang tidak dapat bergerak sendiri, minimal setiap 2 jam sekali untuk mengurangi tekanan

2. Melindungi bagian tubuh yang tulangnya menonjol dengan bahan-bahan yang lembut (misalnya bantal, bantalan busa)

3. Mengkonsumsi makanan sehat dengan zat gizi yang seimbang

4. Menjaga kebersihan kulit dan mengusahakan agar kulit tetap kering.

2.8 Penyembuhan Luka

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Taylor, 1997).

Prinsip Penyembuhan Luka menurut Taylor (1997) yaitu:

1. Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang,

2. Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga,

3. Respon tubuh secara sistemik pada trauma,

4. Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka,

5. Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme, dan

6. Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.



2.9 Tahap Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringan hal ini juga berhubungan dengan regenerasi jaringan. Fase penyembuhan luka digambarkan seperti yang terjadi pada luka pembedahan (Kozier,1995).

Menurut Kozier, 1995

2.9.1 Hemostasis

Hemostasis merupakan proses kesimbangan tubuh yang menyatukan beberapa faktor, terbaru sebanyak lima faktor, antara lain: pembuluh darah, trombosit, faktor koagulasi, sistem fibrinolitik, dan faktor inhibisi.

Tujuan untuk menjaga agar darah tetap cair di dalam arteri dan vena, mencegah kehilangan darah karena luka, memperbaiki aliran darah selama proses penyembuhan luka. Hemostasis juga bertujuan untuk menghentikan dan mengontrol perdarahan dari pembuluh darah yang terluka.

Hemostasis terdiri dari 3 tahap:

1. Hemostasis primer.

Jika terjadi desquamasi dan luka kecil pada pembuluh darah,. Hemostasis primer ini melibatkan tunika intima pembuluh darah dan trombosit. Luka akan menginduksi terjadinya vasokonstriksi dan sumbat trombosit. Hemostasis primer ini bersifat cepat dan tidak tahan lama. Karena itu, jika hemostasis primer belum cukup untuk mengkompensasi luka.

2. Hemostasis Sekunder

Jika terjadi luka yang besar pada pembuluh darah atau jaringan lain, vasokonstriksi dan sumbat trombosit belum cukup untuk mengkompensasi luka ini. Maka, terjadilah hemostasis sekunder yang melibatkan trombosit dan faktor koagulasi. Hemostasis sekunder ini mencakup pembentukan jaring-jaring fibrin. dan bersifat delayed dan long-term response. Kalau proses ini sudah cukup untuk menutup luka, maka proses berlanjut ke hemostasis tersier.

3. Hemostasis Tersier

Hemostasis tersier ini bertujuan untuk mengontrol agar aktivitas koagulasi tidak berlebihan. Hemostasis tersier melibatkan sistem fibrinolisis.



2.9.2 Inflamatory

Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 4 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan pagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan mati, scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme.

Fase inflamatori juga memerlukan pembuluh darah dan respon seluler digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan. Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.

Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.



2.9.3 Proliferatif

Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka.

Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah.



2.9.4 Maturasi

Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan. Fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih.



2.10 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

1. Usia

Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.

2. Nutrisi

Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.

3. Infeksi

Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.

4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.

5. Hematoma

Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.

6. Benda asing

Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).

7. Iskemia

Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.

8. Diabetes

Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.

9. Keadaan Luka

Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.

10. Obat

Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.

* Steroid : Akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera.

* Antikoagulan : Mengakibatkan perdarahan

* Antibiotik : Efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.



2.11 Komplikasi Penyembuhan Luka

Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehiscence dan eviscerasi.

1. Infeksi

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.

2. Perdarahan

Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan.

3. Dehiscence dan Eviscerasi

Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah



2.12 Pengaruh Psikologi

1. Depresi

Reaksi frustrasi yang membuat kita murung berlanjut, sedih, hilang gairah hidup, dan tidak berdaya berhadapan dengan keadaan penyakit dengan luka yang sudah lama dan sukar untuk disembuhkan.

2. Apati.

Kekesalan yang ditunjukkan dengan bersikap masa bodoh, acuh tak acuh, putus asa, tidak peduli lagi akan kehidupan dan kesembuhan lukanya.

3. Agresi

Memberikan perlawanan kepada semua yang ada disekelilingnya setiap orang memberikan semangat hidup dan menasehatinya.

Rasa ketakutan terhadap dirinya, dan kehilangan akan semua yang ada disampingnya.

2.13 Komplikasi Dari Luka

1. Hematoma (Hemorrhage)
Perawat harus mengetahui lokasi insisi pada pasien, sehingga balutan dapat diinspeksi terhadap perdarahan dalam interval 24 jam pertama setelah pembedahan.

2. Infeksi (Wounds Sepsis)
Merupakan infeksi luka yang sering timbul akibat infeksi nosokomial di rumah sakit. Proses peradangan biasanya muncul dalam 36 – 48 jam, denyut nadi dan temperatur tubuh pasien biasanya meningkat, sel darah putih meningkat, luka biasanya menjadi bengkak, hangat dan nyeri.
Jenis infeksi yang mungkin timbul antara lain :

* Cellulitis merupakan infeksi bakteri pada jaringan

* Abses, merupakan infeksi bakteri terlokalisasi yang ditandai oleh terkumpulnya pus (bakteri, jaringan nekrotik, Sel Darah Putih)

* Lymphangitis, yaitu infeksi lanjutan dari selulitis atau abses yang menuju ke sistem limphatik. Hal ini dapat diatasi dengan istirahat dan antibiotik.

3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence adalah rusaknya luka bedah
Eviscerasi merupakan keluarnya isi dari dalam luka

4. Keloid
Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.

Untuk Asuhan Keperawatan Luka bisa Download

di SINI



BAB III

PENUTUP



3.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah ini adalah perawatan luka merupakan suatu tindakan pembersihan luka dengan menggunakan prinsip bersih ataupun steril agar tidak terkontaminasi oleh bakteri dan terkena infeksi.

ASKEP EMPHYSEMA PARU

EMPHYSEMA PARU



BAB I

PENDAHULUAN





1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis atau empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsial reversibel, sekalipun empisema dan bronkitis kronis harus didiagnosa dan dirawat sebagai penyakit khusus, sebagian besar pasien PPOK mempunyai tanda dan gejala kedua penyakit tersebut. Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada penderita laki-laki lanjut usia.

Oleh karena itu penyakit PPOK haruslah mendapatkan pengobatan yang baik dan terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai dengan perawatan di rumah sakit. Dan yang lebih penting dalah perawatan untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah. Hal ini diperlukan perawatan yang komprehensif dan paripurna saat di Rumah Sakit.



1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah

a. Mengetahui dan memahami tentang proses penyakit, pengertian, penyebab, pengobatan dan perawatan dari Empisema.

b. Mengetahui dan memahami pengkajian yang dilakukan, masalah keperawatan yang muncul, rencana keperawaatan dan tindakan keperawatan yang diberikan dan evaluasi keperawatan yang dilakukan.



BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Pengertian

Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962) atau perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar.



2.2 Penyebab

2.2.1 Faktor Genetik

Factor genetic mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetic diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksiparu pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.

2.2.2 Hipotesis Elastase-Anti Elastase

Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.

2.2.3 Rokok

Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.

2.2.4 Infeksi

Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksiparu bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.

2.2.5 Polusi

Sebagai factor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.

2.2.6 Faktor Sosial Ekonomi

Emfisema lebih banyak didapat pada golongan social ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan factor lingkungan dan ekonomiyang lebih jelek.



2.3 Patofisiologi

Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan.

Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.



2.4 Pembagian Emfisema

Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu:

2.4.1 CLE (Emfisema Sentrilobular)

CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolarisyang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).

2.4.2 PLE (Emfisema Panlobular)

Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruhparu-paru . PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzimalfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami( Cherniack dan cherniack, 1983).

PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.



2.5 Manifestasi Klinis

Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.



2.6 Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Pemeriksan Radiologis

Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain.

Foto dada pada emfisema paru

Terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu :

* Gambaran defisiensi arteri

- Overinflasi

Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.

- Oligoemia
Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.

* Corakan paru yang bertambah sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.

2.6.2 Pemeriksaan Fungsi Paru

Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

2.6.3 Analisis Gas Darah

Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.

2.6.4 Pemeriksaan EKG

Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.



2.7 Penata Laksanaan

Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas :

2.7.1 Penyuluhan

Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.

2.7.2 Pencegahan

* Rokok

Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan

* Menghindari lingkungan polusi

Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas.

* Vaksin

Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.

2.7.3 Terapi Farmakologi

Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan :

* Pemberian Bronkodilator

a. Golongan Teofilin

Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L



b. Golongan Agonis B2

Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.

* Pemberian Kortikosteroid

Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.

* Mengurangi Sekresi Mucus

a. Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat.

b. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida.

c. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum.

d. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.

2.7.4 Fisioterapi dan Rehabilitasi

Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional.

Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :

* Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.

* Memperbaiki efisiensi ventilasi.

* Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis

2.7.5 Pemberian O2 Dalam Jangka Panjang

Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.



Asuhan Keperawatan Emphysema Paru bisa Download

Di http://www.ziddu.com/download/8600635/AskepEmphysemaParu.doc.html

Pathway Emphysema Paru bisa Download

Di SINI

BAB III

PENUTUP



3.1 Kesimpulan

Jadi secara umum emfisema adalah suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar yang terjadi sedikit demi sedikit selama bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok yang berkisar 15-25 tahun.

Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.

3.2 Saran

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.Bagi para pembaca diharapkan dapat mengatur pola hidup sehat mulai dari sekarang seperti tidak merokok, menghidari linkungan polusi dan bila perlu dapat dilakukan vaksinasi.

DAFTAR PUSTAKA





Baughman,D.C & Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001

Mills,John & Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru. Jakarta : EGC

Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet Suryono Spd,KE

Soemarto,R.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya : RSUD Dr.Soetomo